
Indonesia sejak lama dikenal sebagai negeri kaya hasil bumi. Kopi, teh, kakao, karet, kelapa sawit, kelapa, hingga rempah-rempah bukan hanya sekadar komoditas ekspor, tetapi juga penopang ekonomi dan sumber penghidupan jutaan petani. Namun, ada persoalan yang membayangi: peningkatan produksi kerap dilakukan dengan membuka hutan atau mengeringkan lahan gambut. Dampaknya bukan main-main, keragaman hayati terganggu dan emisi gas rumah kaca melonjak.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencoba menawarkan jalan keluar. Melalui penelitian hortikultura dan perkebunan, mereka ingin menggeser praktik lama yang merusak hutan menjadi strategi baru: memanfaatkan lahan kritis dan terdegradasi sebagai basis pengembangan pertanian berkelanjutan.
“Kuncinya ada pada karbon,” kata Puji Lestari, Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN. Unsur kecil ini punya peran besar dalam perubahan iklim. Tanaman mampu menyerap karbon dari atmosfer lewat fotosintesis dan menyimpannya dalam batang, akar, maupun tanah. Strateginya bukan dengan menambah deforestasi, tetapi dengan menanam komoditas berkarbon tinggi di lahan kritis yang miskin karbon. Dengan begitu, tanah membaik dan udara pun lebih bersih.
Puji menegaskan sektor pertanian punya posisi unik: bisa jadi penyebab, korban, sekaligus solusi perubahan iklim. Karena itu, riset pertanian diarahkan untuk bukan hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga memperkuat adaptasi dan mitigasi.
Sejalan dengan itu, Dwinita Wikan Utami, Kepala Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN, menekankan pentingnya budidaya presisi. Teknologi presisi memungkinkan hortikultura menekan emisi tanpa mengorbankan hasil panen. Sementara pengembangan perkebunan di lahan kritis atau terdegradasi menjadi kunci untuk meningkatkan serapan karbon sekaligus memenuhi permintaan pasar global.

Inovasi lain datang dari riset biochar. Triyani Dewi, peneliti BRIN, menjelaskan bahwa biochar (arang biomassa dari limbah pertanian) dapat menjadi penyimpan karbon jangka panjang. Proses pembuatannya dilakukan dengan memanaskan limbah pertanian, seperti jerami atau ranting kayu, dalam kondisi oksigen terbatas, sehingga menghasilkan arang berpori yang kaya manfaat. Biochar bukan hanya mengunci karbon agar tidak cepat kembali ke udara, tetapi juga memperbaiki kesuburan tanah, meningkatkan produktivitas lahan marginal, dan bahkan menurunkan cemaran logam berat. Jika dicampur dengan kompos, manfaatnya kian besar.
Upaya-upaya ini menunjukkan bahwa hortikultura dan perkebunan tidak harus selalu dikaitkan dengan deforestasi. Justru dengan pendekatan riset, pengelolaan cerdas, dan inovasi berkelanjutan, sektor ini bisa menjadi sekutu penting dalam menekan emisi gas rumah kaca.
Menanam kopi, kakao atau tanaman lainnya di lahan kritis, menggunakan teknologi presisi untuk hortikultura, hingga memanfaatkan biochar, hingga sistem agroforestri adalah langkah kecil ini bisa memberi dampak besar bagi masa depan iklim.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID.





Tinggalkan komentar