
Di Teluk Sepang, pagi biasanya tenang. Hanya riak ombak yang terdengar, sesekali perahu nelayan dan pemancing tampak di kejauhan. Pantainya sepi, tak ada anak-anak yang berlarian di pasir.
Namun, Selasa, 9 Juli 2019, kesunyian itu pecah oleh sesuatu yang tak biasa. Dari laut, ombak menggiring bangkai seekor lumba-lumba ke tepi pantai. Tubuh mamalia sepanjang dua meter itu membusuk, mulutnya sobek, ekornya terpotong, perutnya bolong seperti ditusuk benda tajam.
“Sepertinya sudah dua hari mati,” ujar Migi Wahyudi, warga Teluk Sepang yang menemukannya ketika memancing.
Yang membuatnya terenyuh, lokasi penemuan hanya sepelemparan batu dari pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Teluk Sepang, ke arah Lentera Hijau, Pulau Baai.
Bagi warga sekitar, pemandangan itu bukan hal baru. Tiga tahun sebelumnya, Agustus 2016, lumba-lumba juga pernah terdampar di pantai ini. Saat itu, hewan cerdas tersebut masih hidup meski penuh luka. Siripnya robek, badannya terjepit akar bakau di alur masuk Pelabuhan Pulau Baai.
Tim penyelamat kala itu bergegas. Basarnas dan tim medis berhasil menolongnya, merawat luka, lalu menggiringnya kembali ke laut menggunakan perahu karet. Sekilas, harapan sempat hidup. Tapi kini, yang tersisa hanya bangkai membusuk di pasir pantai.

Laut yang Menjadi Rumah
Bagi nelayan Teluk Sepang, lumba-lumba bukan sekadar makhluk asing yang sesekali muncul. Mereka sudah terbiasa melihat kawanan mamalia itu melintas di perairan.
Laut Teluk Sepang memang kaya: lebih dalam daripada Pantai Panjang, ombaknya besar, karangnya melimpah. Kawasan ini juga jadi habitat penyu bertelur.
Namun kedekatan itu menyimpan ironi. Tak semua perjumpaan manusia dan lumba-lumba berakhir manis.
“Kami kubur sore itu, pukul 17.30,” kata Donal Hutasoit, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu–Lampung.
Bangkai lumba-lumba yang tak bisa diselamatkan itu ditanam di pasir pantai, hanya beberapa meter dari tempat ia ditemukan.
Donal mengingatkan, lumba-lumba dilindungi hukum. Ia masuk daftar satwa dilindungi dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/2018, juga tercatat di Appendix II CITES, konvensi internasional yang melindungi spesies dari ancaman perdagangan.
“Kami harap, jangan ada upaya memburu, apalagi membunuh lumba-lumba,” ujarnya.

Navigasi Tersesat dan Kebisingan
Mengapa lumba-lumba bisa terdampar? Zamdial Ta’aladin, dosen Kelautan Universitas Bengkulu, menjelaskan bahwa hewan ini bergantung pada sistem navigasi alami untuk menentukan arah. Lumba-lumba hidup berkelompok, mengikuti pemimpin. Jika sang pemimpin tersesat, seluruh kawanan bisa ikut salah arah.
Sistem navigasi itu rentan terganggu oleh kebisingan di laut: sonar kapal selam, instrumen elektronik kapal penangkap ikan, bahkan pergeseran lempengan dasar laut.
“Kalau sistemnya terganggu, mereka bisa salah arah dan berenang ke pantai,” kata Zamdial.
Menurutnya, lumba-lumba yang terdampar sendirian biasanya sedang sakit atau terluka.
“Kalau sehat, mereka jarang sendirian. Selalu berkelompok.”
Polusi suara di laut bukan sekadar teori. Laporan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 2014 bertajuk Reducing Impacts of Noise from Human Activities on Cetaceans menegaskan bahwa kebisingan bisa melukai mamalia laut. Sonar militer, eksplorasi minyak lepas pantai, hingga lalu lintas kapal besar menciptakan gelombang suara berintensitas tinggi yang membingungkan sistem navigasi mereka.
Kasus tragis pernah terjadi di Kepulauan Bahama. Nekropsi pada tujuh paus yang terdampar di sana menemukan pendarahan di sekitar telinga dan cairan otak, akibat paparan sonar.
Laporan WWF itu bahkan merekomendasikan aturan ketat: pengurangan kebisingan kapal, teknologi peredam suara industri minyak, hingga perlindungan habitat mamalia laut pada periode sensitif seperti musim melahirkan.
Laut Bengkulu bukan hanya jalur nelayan. Ia adalah persimpangan migrasi biota laut dari Samudra Hindia dan Pasifik.
Tim ekspedisi Universitas Bengkulu berulang kali mencatat kawanan lumba-lumba, bahkan paus, di Pulau Mega dan Enggano. Laut ini seharusnya menjadi rumah yang aman.
Namun, Teluk Sepang kini berubah. Aktivitas manusia kian padat: nelayan, kapal besar, proyek PLTU, lalu lintas pelayaran. Laut yang semestinya jadi ruang sunyi, justru dijejali kebisingan.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID.
Tulisan ini juga diterbitkan di Mongabay Indonesia dengan judul Terdampar di Teluk Sepang, Kondisi Lumba-lumba Ini Menyedihkan





Tinggalkan komentar