
Malam di Teluk Sepang, Kota Bengkulu, biasanya hanya diisi suara ombak. Gelap, sepi, tanpa cahaya lampu. Dalam kesenyapan itulah penyu-penyu datang dari laut, menggali pasir, lalu meletakkan ratusan butir telur. Ritual purba yang diwariskan selama jutaan tahun.
Namun, belakangan, pemandangan itu kian jarang terlihat. Hamidin, tokoh masyarakat Teluk Sepang, mengingat bagaimana dulu warga biasa mengendap di semak pantai untuk mengamati. “Penyu itu pemalu. Kadang, belum kita sampai, dia sudah pergi lagi,” katanya, awal Juli 2019.
Kini, kesunyian pantai terusik. Dari kejauhan, cahaya lampu berdiri di bibir pantai: pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Teluk Sepang. Mangrove di sekitar lokasi mulai ditebang dan ditimbun. Pantai yang dulu sepi berubah terang.
“Penyu suka tempat gelap, sepi. Kalau ramai dan benderang, dia enggan bertelur,” ujar Eko Fernando, mahasiswa Fakultas Kelautan Universitas Bengkulu yang meneliti habitat penyu di sana. Risetnya mencatat, penyu sisik dan penyu lekang yang dulu rutin datang kini makin jarang singgah.

Laut yang Sunyi, Pantai yang Terancam
Pantai Teluk Sepang bukan satu-satunya habitat penyu di Bengkulu. Ada juga Pulau Tikus, sembilan kilometer dari daratan. Dua lokasi ini menjadi tempat penting bagi penyu sisik, penyu hijau, penyu lekang, bahkan penyu belimbing, raksasa laut dengan panjang hampir tiga meter dan berat hampir satu ton.
Direktur Yayasan Latun, Ari Anggoro, menyebut sepanjang garis pantai pesisir barat Bengkulu sebenarnya dulu menjadi lokasi penyu bertelur. Kini hanya tersisa Teluk Sepang dan Pulau Tikus. “Pulau Tikus paling sering didatangi penyu sisik dan penyu hijau. Teluk Sepang untuk penyu sisik dan lekang,” ujarnya.
Namun, keduanya sama-sama terancam. Pulau Tikus, yang awalnya dua hektare, kini tinggal 0,6 hektare akibat abrasi. “Naiknya muka air laut dan rusaknya pesisir membuat daratan pulau terkikis,” kata Rahmat Effendi dari kelompok mahasiswa Bengcoleen Sea Turtle Conservation (BSTC).
Ancaman datang pula dari tangan manusia. Telur penyu masih dijual di pasar, seharga Rp5 ribu hingga Rp15 ribu per butir. “Padahal jelas dilarang,” kata Effendi.

Dari Laut ke Pasar, dari Tukik ke Ancaman
Penyu adalah pengembara jauh. Mereka menghabiskan hampir seluruh hidup di lautan, lalu kembali ke daratan hanya untuk satu hal: bertelur. Itu pun tidak sering. Seekor penyu baru dewasa setelah usia 30-40 tahun, lalu bertelur 2-4 tahun sekali.
Sekali bertelur, bisa 100 butir lebih. Tapi nasib tukik rapuh. Dalam perjalanan pendek dari sarang ke laut, mereka bisa dimakan anjing, biawak, kepiting, elang, bahkan ikan kecil di perairan dangkal. Dari ribuan telur, hanya sedikit yang bertahan hidup hingga dewasa.
“Penyu itu satwa yang sepanjang hidupnya berjuang,” kata Edi Suswanto, pendiri Komunitas Pecinta Alam Konservasi Penyu Mukomuko (KPAKPM). Karena itu, setiap telur yang diambil atau habitat yang dirusak adalah pukulan besar bagi kelangsungan spesies.
Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/2018 dengan tegas melindungi penyu tempayan, hijau, sisik, lekang, dan pipih. Undang-Undang No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam bahkan mengancam hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta bagi pelanggar.
Namun, di lapangan, penegakan hukum kerap lemah. Telur penyu masih mudah ditemukan di pasar, habitat mereka terus tergerus oleh pembangunan dan abrasi.
“Harus ada keseriusan pemerintah, jangan hanya melarang di atas kertas,” kata Edi.
Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, mengaku menyadari pentingnya habitat penyu di daerahnya. “Harus dijaga dan dilestarikan,” katanya, 14 Juli 2019. Ia mengusulkan konsep ekowisata sebagai solusi: mengelola pantai tanpa merusaknya.
Ekowisata, menurut The International Ecotourism Society, adalah pariwisata berwawasan lingkungan yang menekankan konservasi, pemberdayaan masyarakat lokal, serta pendidikan. Jika benar diterapkan, ia bisa jadi jalan tengah antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian alam.
Malam tetap turun di Teluk Sepang, ombak tetap menggerus pasir. Namun jejak penyu kian jarang, seolah mereka memilih menghapus diri dari pantai yang pernah jadi rumah. Sunyi yang tersisa bukan lagi ketenangan, melainkan tanda kehilangan yang tak terucap.
***
Ahmad Supardi, SustainergyID.
Tulisan ini juga diterbitkan di Mongabay Indonesia dengan judul Penyu Enggan Datang ke Teluk Sepang





Tinggalkan komentar