Banjir Bengkulu tahun 2019. Foto: Istimewa

Hujan deras mengguyur Bengkulu pada akhir April 2019. Malam itu, air tiba-tiba meluap dari Sungai Bengkulu, merendam rumah-rumah di Kelurahan Tanjung Jaya.

Suryani, 43 tahun, hanya sempat menyelamatkan anak dan beberapa pakaian. Perabot, beras, dan dokumen penting hanyut.

“Baru kali ini separah ini,” katanya, sebulan setelah banjir besar yang menewaskan puluhan orang itu.

Bekas genangan setinggi pinggang orang dewasa masih membekas di dinding rumahnya. Sawah di pinggir sungai tertutup lumpur. Hasil panen gagal, sementara musim hujan masih panjang.

Di tengah trauma itu, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah mengirim surat resmi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Surat bertanggal 8 Januari 2019 itu mengusulkan pelepasan kawasan hutan seluas 53.037 hektare dalam rangka revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bengkulu.

Alih Fungsi hutan di Bengkulu. Foto: Genesis

Hutan untuk Tambang dan Sawit

Usulan itu datang dari empat bupati: Mukomuko, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, dan Seluma. Hampir semua wilayah yang diajukan bukan lagi hutan perawan, melainkan lahan yang sudah dikuasai perusahaan tambang batubara dan perkebunan sawit.

Mukomuko, misalnya, meminta pelepasan 12.417 hektare. Dari jumlah itu, 7.915 hektare sudah menjadi hak guna usaha tiga perusahaan perkebunan. Bengkulu Utara mengajukan 22.671 hektare, sekitar 80 persen di antaranya telah menjadi konsesi dua perusahaan tambang dan dua perkebunan sawit. Bengkulu Tengah minta 5.267 hektare, 95 persen telah dikeruk tambang. Adapun Seluma mengusulkan 4.644 hektare, sebagian besar sudah dalam tahap izin operasi produksi tambang.

“Sekitar 80 persen dari usulan itu sudah menjadi lahan perusahaan,” kata Uli Arta Siagian, Direktur Genesis Bengkulu, dalam diskusi publik Di Balik Perubahan Status Hutan Bengkulu, 26 Juni 2019.

Banjir Bengkulu tahun 2019 menewaskan puluhan warga. Foto: Firmasnyah/kompas.com

Ancaman Banjir Ulang

Analisis Genesis menunjukkan, pelepasan kawasan hutan akan memperbesar ancaman banjir, longsor, dan krisis air. Dua daerah aliran sungai besar, Air Bengkulu dan Ketahun, masuk dalam area pelepasan. Keduanya terbukti sebagai penyumbang terbesar banjir pada April lalu.

Di DAS Air Bengkulu saja, 46 persen wilayahnya sudah dikapling perusahaan tambang. Terdapat 33 lubang batubara yang menganga, 23 di antaranya di Bengkulu Tengah, dan belum direklamasi.

“Kalau usulan ini dikabulkan, semakin besar bukaan di hulu DAS. Ancaman banjir akan terus menghantui,” ujar Uli.

Mukomuko menghadapi ancaman lain. Hulu Air Majunto, jalur irigasi untuk 10 ribu hektare sawah, termasuk dalam kawasan yang diusulkan. Jika hulu rusak, irigasi kering, sawah gagal panen.

“Sama saja mengurangi sumber pangan masyarakat,” kata Uli.

Harimau sumatera terus terancam oleh pemburu dan pembukaan hutan. Foto: Dok. Polres Seluma, Bengkulu

Satwa Terjepit

Tak hanya manusia yang terancam. Harimau sumatera dan gajah juga kehilangan rumah. Di Mukomuko, koridor harimau berada di kawasan Air Ipuh. Di Bengkulu Utara, usulan pelepasan merambah Taman Nasional Kerinci Seblat, habitat penting gajah dan harimau. Bengkulu Tengah punya hutan Rindu Hati, rumah bunga rafflesia, yang juga masuk daftar pelepasan.

“Harimau sudah sering masuk desa karena habitatnya rusak. Kalau hutan dikurangi lagi, konflik makin sering,” kata Iswadi dari Fauna dan Flora Internasional. Ia menegaskan, target KLHK menambah populasi harimau sumatera 10 persen pada 2014–2019 terancam gagal.

Gubernur Rohidin Mersyah membantah usulannya semata untuk kepentingan perusahaan. Menurutnya, pelepasan hutan bagian dari revisi RTRW yang harus diproses panjang.

“Kami akan membentuk tim terpadu dengan pakar, LSM, dan akademisi,” ujarnya lewat pesan WhatsApp, 27 Juni 2019.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bengkulu, Sorjum Ahyar, menambahkan, perubahan fungsi hutan dilakukan untuk memenuhi aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan. Menurutnya, skema lain yang diajukan adalah Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 25 ribu hektare.

Bagi aktivis lingkungan, argumen pembangunan hanyalah tameng.

“Yang diuntungkan jelas perusahaan tambang dan sawit. Rakyat justru menanggung kerugian,” kata Uli.

Bagi Suryani, petani korban banjir, perdebatan itu mungkin terdengar jauh. Yang ia tahu, setiap hujan deras, ia tak bisa tidur nyenyak. Suara deras air sungai membuat jantungnya berdegup cepat.

“Kami takut air datang lagi,” ujarnya lirih.

***

Ahmad Supardi, SustainergyID.

Tulisan ini juga diterbitkan oleh Mongabay Indonesia dengan judul Pegiat Lingkungan: Perubahan Fungsi Hutan Bakal Menambah Kerusakan Bengkulu

Tinggalkan komentar

Sedang Tren