Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG], menjelaskan, banjir yang melanda Bengkulu berkaitan dengan aktivitas Osilasi Madden-Julian [OMJ]. Foto: Sutopo Purwo Nugroho/BNPB/Twitter @Sutopo_PN

Fajar belum sepenuhnya terbit di Bengkulu pada Sabtu, 27 April 2019, ketika suara deras air dari luar rumah membuat warga panik.

Dalam hitungan jam, genangan meluas, rumah-rumah tergenang, jalanan berubah jadi sungai, dan jembatan ambruk tersapu arus.

Hujan deras yang mengguyur semalam suntuk berubah menjadi bencana besar.

Di tengah kepanikan itu, Edy Prayekno, seorang videografer, kembali meraih drone miliknya. Ia ingin melihat seberapa parah banjir yang menimpa tanah kelahirannya.

Pukul 09.00 WIB, drone melayang tinggi di atas Kota Bengkulu. Dari layar kecil, Edy tertegun: separuh kota nyaris tenggelam. Jalan raya, rumah, bahkan lapangan luas tak lagi terlihat, hanya hamparan air coklat keruh.

“Rasanya seperti mimpi buruk. Bengkulu benar-benar terendam,” kata Edy.

Lubang tambang batubara di wilayah DAS Air Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Foto: Dok. Genesis

Satu bulan sebelumnya, pada Maret 2019, drone yang sama ia terbangkan ke hulu Sungai Bengkulu. Di sana, ia menemukan bukaan tambang batubara di kawasan hutan lindung dan daerah konservasi.

Edy menyimpan kegelisahan kala itu: bila hujan deras turun, tanah yang terbuka itu akan melongsorkan air dan lumpur ke hilir. Kekhawatiran itu menjadi kenyataan lebih cepat dari yang ia duga.

Keesokan harinya setelah banjir, Edy duduk di depan komputer dan menulis sebuah petisi di laman Change.org. Judulnya lugas: Tutup Tambang Batubara Penyebab Banjir Bengkulu. Petisi itu ia tujukan kepada Presiden Republik Indonesia dan Pemerintah Provinsi Bengkulu.

“Pengalaman itu yang mendorong saya membuat petisi,” katanya.

Hingga Minggu, 23 Juni 2019, lebih dari 78.300 orang menandatangani dukungan.

Selain faktor alam, pengelolaan bentang alam yang salah turut mengundang hadirnya bencana? Foto: Sutopo Purwo Nugroho/BNPB/Twitter @Sutopo_PN

Luka yang Meluas

Banjir 2019 bukan bencana kecil. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, 30 orang meninggal dunia, 6 orang hilang, dan ribuan lainnya mengungsi. Sebanyak 184 rumah rusak, 7 sekolah terdampak, serta 40 titik infrastruktur hancur, termasuk jalan, jembatan, dan gorong-gorong.

Bencana ini menyapu sembilan kabupaten/kota: Kota Bengkulu, Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara, Kepahiang, Rejang Lebong, Lebong, Seluma, Bengkulu Selatan, dan Kaur. Dari utara hingga selatan, tak ada wilayah yang benar-benar aman.

Bagi sebagian orang, banjir adalah musibah alam semata. Tetapi bagi banyak warga dan pegiat lingkungan, bencana ini punya sebab yang bisa ditelusuri: kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengkulu akibat ekspansi tambang dan perkebunan.

Tambang batu bara di hulu sungai Bengkulu Utara. Foto Ahmad Supardi

Tambang di Hulu, Banjir di Hilir

Genesis Bengkulu, sebuah organisasi lingkungan, merilis data mengejutkan: 46 persen wilayah DAS Bengkulu sudah masuk konsesi tambang batubara. Dari luas total 51.951 hektar, sebanyak 21.694 hektar telah diizinkan untuk pertambangan.

Tak berhenti di situ. Terdapat 33 lubang tambang yang belum direklamasi. Sebagian besar berada di Kabupaten Bengkulu Tengah, di sekitar DAS Air Bengkulu, termasuk kawasan Hutan Lindung Bukit Daun dan Taman Buru Semidang Bukit Kabu. Lubang-lubang itu ibarat luka terbuka di tubuh hutan yang tak kunjung disembuhkan.

“Sudah jelas banjir di Bengkulu ini karena DAS yang rusak. Pemerintah harus melakukan evaluasi, lubang-lubang harus direklamasi,” tegas Uli Arta Siagian, Direktur Genesis.

Keterangan Uli bukan tanpa dasar. Banjir dan longsor Bengkulu berulang dari tahun ke tahun, kian parah seiring meningkatnya ekspansi tambang. Hulu yang terbuka, hilir yang menanggung.

Tiga akademisi Universitas Bengkulu, yaitu Heri Suhartono, M. Fajrin Hidayat, dan Edi Suharto, yang tergabung dalam Forum DAS Bengkulu, melakukan kajian pasca-banjir. Presentasi mereka dalam rapat evaluasi 27 Mei 2019 mengungkapkan gambaran suram: dari 89 DAS di Provinsi Bengkulu, banyak yang rusak parah.

Di antaranya DAS Air Bengkulu, Air Kungka, Sebelat, Ketahun, Air Pino, Air Manna, Air Nasal, Air Luas, Air Kinal, dan Air Seluma. Kerusakan itu berakibat langsung pada bencana yang berulang di sembilan kabupaten/kota.

Namun masalah bukan hanya tambang. Para akademisi menyoroti ketimpangan kebijakan tata ruang. Hulu dan hilir DAS terbagi dalam wilayah administrasi berbeda, sehingga pengelolaannya tidak terpadu. Setiap kabupaten berjalan dengan kepentingannya sendiri, tanpa master plan bersama.

“Tidak ada master plan pengelolaan DAS terpadu yang jelas dan terukur sehingga tidak ada kejelasan tata ruang sebagai nilai rehabilitasi dan konservasi,” bunyi laporan Forum DAS.

Mereka juga mencatat, pemanfaatan lahan oleh masyarakat sering tidak sesuai kaidah konservasi tanah dan air. Ladang miring dibuka tanpa terasering, sungai dijadikan lokasi buangan limbah, dan hutan produksi ditebang tanpa reboisasi. Akibatnya, daya serap tanah menurun drastis.

Forum DAS Bengkulu mengajukan tiga rekomendasi:

  1. Pengendalian banjir komprehensif di daerah rawan.
  2. Memperbesar dimensi palung sungai agar aliran air lebih tertampung.
  3. Mengurangi limpasan air lewat konservasi tanah dan air di daerah tangkapan.
Banjir dan longsor di Bengkulu menyebabkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur. Foto: Sutopo Purwo Nugroho/BNPB/twitter @Sutopo_PN

Pemerintah di Persimpangan

Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, merespons tekanan publik. Ia menggelar rapat dengan Forkopimda, pemerintah kabupaten/kota, serta pihak terkait. Hasilnya, disepakati pembentukan Forum DAS Terpadu dengan sekretariat khusus.

Empat DAS utama menjadi prioritas perbaikan: Ketahun, Bengkulu, Manna, dan Padang Guci. Programnya meliputi penanaman pohon, pembangunan bendungan, hingga pelapisan tebing sungai.

“Kita betul-betul ingin mencari solusi produktif. Kolaborasi antara investasi dan kinerja lingkungan menjadi kebutuhan. Ini semua harus dilakukan bersama, agar memberikan dampak positif untuk lingkungan Bengkulu,” kata Rohidin.

Ia juga berjanji melibatkan perguruan tinggi dalam mengevaluasi dokumen lingkungan, terutama yang terkait kinerja perusahaan tambang dan perkebunan. Namun, bagi banyak warga, janji itu terdengar hati-hati—bahkan terlalu hati-hati. Pemerintah tidak menyebut soal penutupan tambang, hanya evaluasi.

Warga berjalan di lumpur di Desa Genting, Kecamatan Bang Haji, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu, akibat banjir hebat yang melanda 27 April 2019. Foto: Dedek Hendry/Mongabay Indonesia

Petisi, Simbol Perlawanan

Petisi Edy Prayekno menjadi kanal kemarahan sekaligus harapan publik. Dalam beberapa minggu, puluhan ribu tanda tangan terkumpul. Dukungan datang bukan hanya dari Bengkulu, tapi juga dari berbagai daerah di Indonesia.

“Petisi ini penting sebagai penanda, bahwa masyarakat menolak bencana dianggap sekadar musibah. Ada kebijakan salah urus yang harus diperbaiki,” kata seorang aktivis lingkungan Bengkulu.

Namun, perjalanan petisi menuju kebijakan bukan perkara mudah. Industri tambang batubara di Bengkulu sudah berurat akar. Banyak perusahaan memiliki izin sah, sebagian dengan dukungan politis yang kuat. Di sisi lain, masyarakat sekitar tambang sebagian menggantungkan ekonomi mereka pada pekerjaan tambang.

Inilah dilema yang dihadapi Bengkulu: antara kebutuhan ekonomi jangka pendek dengan kelestarian lingkungan jangka panjang.

Banjir 2019 meninggalkan luka fisik dan sosial. Infrastruktur rusak, korban jiwa berjatuhan, ribuan orang trauma. Tetapi ada warisan lain yang lebih sulit disembuhkan: ketidakpercayaan masyarakat terhadap tata kelola lingkungan.

Di satu sisi, pemerintah berjanji memperbaiki pengelolaan DAS. Di sisi lain, fakta tambang yang merusak tetap berdiri kokoh di hulu. Petisi warga adalah simbol bahwa masyarakat tak lagi pasrah. Mereka menuntut perubahan kebijakan yang berani, bukan sekadar proyek tambal sulam.

Pertanyaannya kini, apakah pemerintah berani mengambil langkah tegas menutup tambang-tambang bermasalah? Ataukah janji konservasi hanya akan jadi catatan rapat yang terlupakan?

***

Ahmad Supardi, SustainergyID.

Tulisan ini juga diterbitkan di Mongabay Indonesia dengan judul Habis Banjir Terbitlah Petisi Tutup Tambang di Bengkulu

Tinggalkan komentar

Sedang Tren